Tuesday, February 25, 2014

Dream Theater..? Why Not..?

Oke. Kali ini gue mau share ke kalian kenapa gue suka banget sama Dream Theater.

Awalnya, gue itu penggemar Bon Jovi. Semi fanatik lah, karena gue belom sampe koleksi pernak-pernik berbau Bon Jovi. Dan di mindset gue tertanam kalau band paling bagus itu Bon Jovi. Dan gue tambah kagum sama tuh band pas baca postingan kalo Richie Sambora nolak buat ikut tur G3 (buat gitaris, pasti tau G3, buat yg gak tau bisa klik di sini). Di saat itu, gue udah tau Dream Theater, gue tau mereka band legenda di mana semua personilnya itu profesor di bidangnya. Cuman gue gak tau lagu-lagunya apa. Dan gue menganggap Dream Theater itu band aliran keras sebangsa black metal atau death metal gitu. Dan gara-gara itu gue menutup telinga buat mereka.

Pernah suatu saat gue iseng-iseng lagi pengen dengerin lagu-lagu artis lain seperti Foo Fighters, Rush, dll. Iseng download compilation Dream Theater yg The Greatest Hit (...And 21 Other Pretty Cool Songs). Gue play yang disc 2, Light Side. Di situ gue kaget, mereka gak seperti yang gue bayangkan. Lagu-lagu ballad khas Dream Theater, gampang diterima, terdengar simpel namun tetap dengan khas kerumitan mereka. Dan dengan deg-degan plus penasaran, gue denger yang disc 1, Dark Side. Semakin terkesima. Well, itulah fall in love at the first hearing.

Bagi kebanyakan orang, mungkin sulit menerima musik jenis ini. Pertama denger ya mungkin memang terkesan urakan, gedumbrengan, dll. Tapi coba deh, luangkan waktu untuk mendengarkan dengan seksama, take time to listen, not just hearing.

Dan ini beberapa alasan gue suka sama lagu-lagu mereka:

Lirik
Dari segi lirik, siapa sangka band beraliran progressive metal ini punya lirik yang bisa bikin kita tercengang..? Yang kita tau, band-band metal liriknya amburadul, kasar, dll. Tapi Dream Theater jauh dari kesan itu. Liriknya rapi, dan bahkan bisa dibilang puitis.

"Tell me, remind me, chasing water racing from the sky. Always beside me, taste the memory running from my eyes. Nervous flashlights scan my dreams, liquid shadows silence their screams. I smile at the moon chasing water from the sky. I argue with the cloud stealing beauty from my eyes" (Under A Glass Moon), atau

"I need to live light like some people never will, so find me kindness, find me beauty, find me truth." (Learning To Live).

Skill
Kayak yang gue bilang, mereka adalah profesor di bidang masing-masing. John Petrucci, John Myung, Jordan Rudess, James LaBrie, Mike Mangini, Mike Portnoy, Kevin Moore, dan Derek Sherinian.

Gak bisa dijelasin satu per satu, dengarkan bagaimana permainan mereka mempengaruhi suasana lagu. The Great Debate dan Blind Faith contohnya. Selama lagu tersebut, kita dihibur dengan suara-suara yang gak biasa dalam sebuah lagu. Namun tetap menakjubkan.

Teknik Pengemasan Lagu
Detil gak mereka tinggalkan begitu saja. Sebagai band legendaris, mereka sangat memperhatikan detail. Di dalam lagu-lagu mereka sering kali terselip lagu-lagu mereka yang lain, entah itu lirik, nada, dsb. Pada lagu Learning To Live contohnya, ada bagian lagu Wait For Sleep di bagian solonya. Atau kalo mau bener-bener nyari, ada banyak di album Awake dan Octavarium.

Terus, fading kiri dan kanan juga bisa dinikmati jika menggunakan stereo speaker. Contoh: The Great Debate. Bagian pertama yg pro, suara terdengar dari speaker sebelah kanan, sedangkan bagian kontra yg kedua terdengar dari kiri.

Feeling dan Durasi
Soal durasi, 10 menit sudah biasa buat mereka. Meski ada beberapa lagu mereka yang juga memiliki durasi standar lagu-lagu band reguler (3-6 menit). Tapi, buat mereka 6 menit itu bisa berarti intro. Lagu terpanjang mereka berdurasi 42 menit, judulnya Six Degrees of Inner Turbulence. Menceritakan tentang beberapa jenis kelainan mental. Atau Octavarium dan A Change of Seasons yg berdurasi 24 menit.

Membosankan..? Justru enggak. Dalam 24 atau 42 menit itu mereka mengemas musik sedemikian mungkin sehingga pendengar tidak merasa bosan. Lagu dibagi mejadi 8 part pada Six Degress (Overture, About To Crash, War Inside My Head, The Test That Stumped Them All, Goodnight Kiss, Solitary Shell, About To Crash (Reprise), dan Losing time/Grand Finale), dan di setiap part, suasana musik berbeda. Pergeseran suasana juga dilakukan dengan sempurna sehingga batas setiap part hampir tidak dapat diketahui.

Berikut adalah beberapa lagu yang worth to hear:
  1. The Spirit Carries On
  2. Goodnight Kiss
  3. Solitary Shell
  4. I Walk Beside You
  5. The Great Debate
  6. Blind Faith
  7. Under A Glass Moon
  8. Learning To Live
  9. Surrounded
  10. Metropolis Pt.1
  11. Strange Deja Vu
  12. Anna Lee
  13. Trials of Tears
  14. Finally Free
  15. Twelve Step Suite (The Glass Prison, This Dying Soul, The Root of All Evil, Repentance, dan The Shattered Fortress)
  16. The Count of Tuscany
  17. The Looking Glass
  18. Forsaken
  19. Constant Motion
  20. Prophet of Wars

No comments:

Post a Comment

This House Is Not For Sale Review: II. Track by Track (Reg)

Jakarta, 18 Mei 2017 Jarak antara Part satu  dan Part dua lumayan jauh. Yaaaaa.... gimana lagi. Sibuk sih. Pergi pagi pulang malam te...