Saturday, February 22, 2014

Viewer's Choice: My Point of View

Artikel gue kali ini mau bahas tentang fenomena pertelevisian Indonesia. Artikel ini mungkin akan gue bahas dari sudut pandang gue sebagai mahasiswa ekonomi yang kata teman-teman gue memiliki pemikiran seorang psikolog (bukan psikopat) dan sosiolog. Entah gimana itu maksudnya.

Oke. Kita mulai aja.

Banyak acara-acara televisi kita yang memiliki rating yang tinggi, namun mendapat banyak kecaman. Tidak usah gue sebutin satu per satu karena kita semua udah tau, dan gue juga takut kena tuntut pencemaran nama baik.

Salah satu jenis acaranya bertipe entah sitcom atau bukan. Yang pasti banyak penonton, sedangkan acara yang ditampilkan lawak. Ada yang menggunakan gabus sbg properti, ada yang khas dengan joget-joget, ada yang khas dengan kasus pelecehan nama baik, ada yang khas dengan lipsync.. Oke, cukup.

Ada temen yang nyeletuk, "Tuh acara kayak gitu kok ada mulu, sedangkan acara-acara ilmiah hampir gak ada. Ini stasiunnya gimana sih. Gak tau yang bagus untuk rakyat"

Ups. Jangan langsung menyalahkan stasiun tv. Lantas..? Masyarakat..? Simak opini gue.

Pertama
Tipikal masyarakat Indonesia itu pekerja keras, bekerja dari pagi sampai malam. Berangkat pagi, pulang malam. Ada yang menempuh jarak sekian puluh kilometer pulang pergi ke tempat kerja. Jika mereka pulang, tentu mereka lelah, bukan..? Dengan beban pekerjaan di kepala mereka, mereka jelas enggan mengisi kepala mereka kembali dengan tontonan bermutu macam Discovery Channel atau National Geographic, atau tayangan dokumenter lainnya jika mereka tidak memiliki televisi kabel. Mereka ingin acara yang bisa membuat mereka melupakan beban kerja mereka dan melepaskan kejenuhan. Dengan kata lain, mereka ingin hiburan.

Pernah mengamati kalo acara televisi dari jam 6 sore sampai 9 atau 10 malam isinya acara begituan..? Ya itu karena itu jam-jam pulang kantor. Jam-jam sang tulang punggung keluarga tiba di rumah.

Di sini berlakulah hukum permintaan dan penawaran. Dengan kata lain, masyarakat meminta program televisi yang bisa menghibur, bagaimana jenisnya. Terlebih yang bekerja adalah kaum lelaki. Ini menjadi masuk akal ketika isi tayangan tersebut diisi wanita-wanita cantik berbaju ketat dan minim. Itu bisa membuat segar. Ya, gue bilang terang-terangan. Daripada pulang kerja, lelah, marah-marah di rumah.

Kedua
Masyarakat Indonesia lebih senang untuk tidak berpikir. Gue inget jaman-jaman televisi nasional muter filem dokumenter binatang, iklannya dikit, gak sebanyak acara sinetron atau lawak. Semakin sedikit yang menonton, semakin sedikit perusahaan memasang iklan pada jam tayang acara tersebut.
Tapi gue salut ada beberapa stasiun televisi nasional yang masih bisa memberi program bermutu.

Kesimpulan
Ada permintaan untuk program hiburan. Itulah mengapa menjamur program-program hiburan di Indonesia. Dari yang bermutu sampai yang kurang bermutu (bukan tidak bermutu). Sehingga program hiburan tersebut seolah-olah membentuk pasar sendiri. Dan setiap stasiun bersaing untuk mendapatkan viewer's terbanyak agar mendapat banyak pemasukan dari iklan dengan membuat berbagai macam acara hiburan.

Kalo penulisnya gimana..? GUe..? Kalo gue sih kadang-kadang gue nonton. Tapi gue lebih suka nonton Cartoon Network, atau HBO, atau Fox Movies, atau Nat Geo Channel. Jujur, gue jarang buka stasiun nasional kecuali pagi-pagi jam 5 buat nemenin gue sarapan. Itu pun Spongebob. Selesai sarapan ya gue matiin tv, ke kamar lagi beres-beres kuliah.

So, haruskah masyarakat yang disalahkan atas banyaknya program hiburan yang tidak bermutu..? Pendapat saya kembalikan kepada pembaca. :)

No comments:

Post a Comment

This House Is Not For Sale Review: II. Track by Track (Reg)

Jakarta, 18 Mei 2017 Jarak antara Part satu  dan Part dua lumayan jauh. Yaaaaa.... gimana lagi. Sibuk sih. Pergi pagi pulang malam te...